Salah satu hal yang mungkin terlintas di kepala kita ketika membahas Ir.Soekarno adalah kata diktator. Bagi yang belum tahu, diktator adalah seorang pemimpin negara yang memerintah secara otoriter. Atau dengan kata lain diktator adalah pemimpin negara yang memiliki kuasa mutlak. Menurut KBBI dan Wikipedia, diktator memperoleh kekuasaannya pada dengan cara yang tidak demokrasi atau biasanya dengan cara kekerasan.
Kembali kepada Soekarno. Soekarno sering dikatakan diktator karena ‘katanya’ Soekarno ingin menjadi presiden seumur hidup. Tapi tidak bisa dipungkiri lagi, suka tidak suka, gelar Presiden Seumur Hidup itu memang diterima oleh Ir.Soekarno pada saat itu. Dengan adanya gelar ini pastinya banyak orang yang menyamakan Soekarno dengan raja-raja yang ada pada zaman feodal.
Tapi satu hal yang perlu kita ketahui bersama adalah asal usul gelar Presiden Seumur Hidup yang melekat pada Soekarno. Pertanyaan ini terjawab pada buku AM Hanafi salah seorang tokoh angkatan 45 yang berjudul AM Hanafi Menggugat: Kudeta Jend. Suharto Dari Gestapu Ke Supersemar. Dalam bukunya, dijelaskan bahwa gelar Presiden Seumur Hidup tersebut berasal dari tokoh-tokoh 45, terutama AM Hanafi dan Chaerul Saleh (Ketua MPRS saat itu). Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa hal itu dilakukan untuk mengantisipasi orang atau pihak yang berambisi merebut kekuasaan presiden baik dari PKI maupun TNI. Apalagi jika pemilu dilakukan di tahun 1963, PKI diprediksi akan memenangkan pemilu tersebut. Bagi mereka, jika PKI memenangkan pemilu, akan terjadi “perang saudara”.
Ide tersebut pun diterima oleh MPRS yang melahirkan Tap MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Setelah ditetapkan, Chaerul Saleh pun menjadi utusan dari MPRS untuk menyampaikan hal tersebut pada Ir.Soekarno.
Tetapi respon Soekarno pada saat itu adalah menolak hal tersebut. “Tetapi Bung Karno sebagai demokrat kan menolak untuk dijadikan Presiden Seumur Hidup,” ujar AM Hanafi. Penjelasan AM Hanafi ini tidak berbeda penuturan Soekarno pada otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Di situ Ir.Soekarno menuturkan, adanya ide yang disampaikan oleh Chaerul Saleh. Chaerul Saleh mengklaim bahwa ide tersebut berasal dari rakyat. Mendengar itu, Soekarno mengakui bahwa mata-batinnya terbujuk namun khawatir karena hal itu terlalu berlebihan. Akan tetapi, Chaerul Saleh tetap membujuk Bung Karno. Dia bilang, “sebanyak 99% rakyat Indonesia tidak menghendaki Presiden lain selain Bung Karno.” Selain itu, katanya, kalaupun diadakan pemilu, Bung Karno pasti terpilih terus. “Jadi apa bedanya,” kata Chaerul Saleh. Bung Karno menjawab, “menerima pengangkatan berdasarkan kenyataan dan menerimanya menurut ketentuan UU ada perbedaannya. Nampaknya sangat susah bagi rakyat untuk menelan suatu ketentuan UU yang keras dan tak dapat diubah. Bagi saya pun sukar. Saya tidak akan membayangkan, bagaimana pendapat dunia luar mengenai hal ini. Mungkin mereka akan menuduh saya tidak demokratis”.
Mendengar respon tersebut, Chaerul Saleh tetap berusaha membujuk Bung Karno karena menurutnya, ide Presiden Seumur Hidup ini harus dilakukan untuk menghindari terjadinya perang saudara yang hebat. Setelah dibujuk oleh Chaerul Saleh terus menerus termasuk dalih perpecahan bangsa akibat adanya persaingan antara sayap kanan atau TNI dengan PKI, Bung Karno pun menerima usulan tersebut. “Saya kira ini bukan tindakan yang benar”, kata Bung Karno sebelum menerima usulan tersebut.
Dari kejadian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya ketetapan Presiden Seumur Hidup dilakukan untuk menghindari adanya pemilu di tahun 1963. Karena dengan adanya ketetapan ini, tidak perlu dilakukan lagi pemilu di tahun 1963. Dalam kejadian tersebut juga kita dapat melihat respon dari seorang Ir.Soekarno yang menolak untuk dijadikan presiden seumur hidup.
Jadi kita tidak dapat menyebut Ir.Soekarno adalah seorang diktator. Beliau juga tidak mempunyai ambisi untuk menjadi Presiden Seumur Hidup di Indonesia.
Bung Karno juga tidak mempunyai basis material untuk menjadi diktator. Pertama, seperti dikatakan peneliti Australia, Bruce Grant, Bung Karno tidak ditopang atau memiliki partai politik dominan. PNI di tahun 1960-an tidak benar-benar di bawah kendali Bung Karno. Buktinya, ketika Bung Karno digulingkan oleh Soeharto/militer, sebagian PNI justru menyeberang ke kubu lawan.
Kedua, Bung Karno tidak punya kendali terhadap aparatus kekerasan, yakni Kepolisian, Militer/TNI, dan Pengadilan. Bung Karno hanya dekat dengan sejumlah perwira, seperti di AURI dan ALRI. Tetapi tidak mengontrol Angkatan Perang secara keseluruhan. Malahan, dalam banyak kasus, seperti peristiwa 17 Oktober 1952, Angkatan Darat di bawah Komando AH Nasution melancarkan semi-kudeta terhadap Bung Karno.
Ketiga, Bung Karno mendapat dukungan sangat kuat dan dicintai oleh rakyatnya. Tidak ada alasan untuk menyebut pemimpin yang begitu dicintai oleh rakyatnya sebagai seorang diktator.
Sekian artikel tentang alasan bahwa Ir.Soekarno bukanlah seorang diktator yang juga menyinggung asal usul gelar Presiden Seumur Hidup. Jangan lupa membagikan informasi ini.
Sumber dan Referensi
https://www.berdikarionline.com/bung-karno-bukan-diktator/
https://gagasanriau.com/mobile/detailberita/3563/bung-karno-bukan-diktator